KISAH MAHASISWA PEJUANG BIDIKMISI
selalu menginspirasi dari hati -salam sukses untuk seluruh mahasiswa BIDIKMISI.
tunjukkan KAMU DAN AKU BISAAAAAA!!!!! Demi orang tua, bangsa , dan negara!
-Saya Ijin Repost: maaf sumber tulisan tidak saya ketahui
IP
3,0 - Catatan Sang Bidikmisi ke-7
Seorang mahasiswa bidikmisi tak akan pernah terlepas dari sebuah frase yang terdiri dari dua kata. Dua kata yang selalu menyertainya di akhir semester. Dua kata yang sangat menentukan nasibnya dalam mempertahankan beasiswa bidikmisi. Dua kata itu adalah indeks prestasi atau biasa aku sebut itu dengan IP. Sebagai seorang mahasiswa bidikmisi aku tak akan mampu mengelak dari ketentuan surat kontrak bidikmisi yang mengharuskan diriku untuk mendapatkan IP diatas 3,0. Sungguh begitu berat juga awalnya itu aku rasa. Apakah aku sanggup atau tidak, namun bukan keluhan yang harus aku lakukan. Aku harus berusaha, mungkin itulah yang justru paling penting untuk aku lakukan.
Waktu
terus berjalan, kuliah di semester satu bergulir dengan begitu cepat. Mata
kuliah yang aku tempuh jauh berbeda dengan apa yang aku rasakan dengan
masa-masa belajarku dulu di SMA. Kali ini aku bergelut di jurusan ilmu baru,
program studi pendidikan administrasi perkantoran. Tak pernah terfikirkan olehku
dulu apa itu administrasi perkantoran. Aku hanya mengira-ngira saat mendaftar
dulu, progam studi itu adalah sebuah program studi yang mempelajari dunia
perkantoran. Itu saja tak lebih, tak memikirkan dan mencari tahu yang lebih
detail tentang program studi itu. Banyak pelajaran baru yang aku dapatkan
disini, tertuang dalam berbagai mata kuliah yang diajarkan oleh berbagai dosen.
Walau juga sebagian diantaranya tetap bergelut dalam bidang ekonomi yang pernah
aku pelajari di SMA, walau hanya sekilas saja.
Ujian
akhir semester pada semester satu pun datang, itu adalah ujian akhir semester
pertamaku saat kuliah. Aku pun berusaha belajar dengan sebaiknya. Berharap bisa
mendapatkan indeks prestasi sebaik mungkin. Ujian akhir semester mulai
berjalan. Sangat berbeda dengan kala SMA, tak ada yang namanya nomer urut ujian
dan pindah ke kelas lain untuk mengerjakan soal ujian. Ruangan yang di pakai
sama, hanya satu dua memang yang terpaksa pindah. Teman-teman pun tak ada yang
berbeda, berbeda kala aku SMA dulu yang biasanya akan berdampingan dengan adik
kelas atau pun kakak kelas di samping tempatku duduk.
Hari
pertama ujian, tak terkira sebelumnya teman-temanku kuliah datang lebih awal.
Kulangkahkan kakiku menuju ruangan ujian, terlihat bangku-bangku itu sudah
mulai penuh. Benar-benar pemandangan yang berbeda, nampak bangku-bangku itu
menjadi rebutan untuk diduduki. Bangku-bangku itu diatur berjauhan antara satu
bangku dengan yang lainnya. Sebuah bangku kuliah yang hanya memang muat untuk
satu orang itu pun sudah terlihat terpenuhi di bagian barisan paling
belakang. Bangku kuliah yang mempunyai meja kecil di depannya itu hanya
menyisakan barisan depan yang kosong. Bagiku itu tak masalah, aku memang
suka bangku di barisan depan kala ujian. Walau kala waktu jam perkuliahan
biasa, aku lebih suka di bagian belakang. Barisan depan menurutku adalah
barisan yang paling kondusif dan tenang. Tak seperti barisan belakang yang
ramai terdengar bisikan dan gaduh dengan isyarat. Tak dipungkiri memang,
barisan belakang menjadi sebuah barisan yang menjadi tempat favorit bagi
orang-orang yang suka mencontek atau bekerja sama kala ujian. Mungkin di
barisan belakang menjadi posisi paling aman, karena jauh dari jangkauan posisi
sang pengawas.
Aku
sadar memang aku bukanlah orang yang sangat pintar, tetapi bagiku tak masalah
jika duduk di bangku paling depan. Kebalikkan dari para pencontek yang merasa
aman duduk di barisan belakang, maka mahaiswa-mahasiswa yang ingin jujur pun
sangan merasa aman duduk di barisan paling depan. Di bagian barisan paling
depan, jarang dijumpai godaan-godaan untuk mencontek dan juga bekerja sama.
Bagiku, tak masalah jika tak bisa bekerja sama dengan teman yang lain. Tak
masalah jika tak bisa meminta contekan kepada teman yang lain. Bagiku ujian
bukan hanya berorientasi tentang nilai yang harus aku peroleh, bukan hanya
berorientasi pada besarnya indeks prestasi yang akan aku peroleh. Ujian itu
bagiku memang sebagai tolak ukur kemampuanku. Semua harus aku kerjakan dengan
baik serta dengan proses yang baik pula. Aku tak akan bangga jika mendapatkan
nilai yang bagus tapi hanya karena sebuah contekan. Hal itu sama saja bukanlah
hasil dari kerja kerasku sendiri. Lebih baik berapapun hasilnya tetapi adalah
jerih payahku sendiri. Bagiku tetap seperti prinsipku kala SMA dulu, proses
yang baik itulah yang akan memberikan manfaat yang baik. kejujuran itu pun
harus aku lakukan, karena itu juga bagian dari ujian.
Hari-hari
ujian pun akhirnya selesai, semua berjalan dengan lancar, terkecuali satu ujian
mata kuliah yang aku terkendala olehnya. Mata kuliah pengantar akuntansi, aku
tak bisa
menguasainya. Aku tak bisa menguasai
mata kuliah yang selalu berhubungan dengan debit kredit itu. Mata kuliah yang
sering kali membicarakan uang. Menghitungnya dengan angka berjuta-juta, namun hanya
angka saja. Taka da uang aslinya. Kala ujian mata kuliah itu, soal-soal yang
keluar sungguh tak sesuai dengan yang aku pelajari. Aku benar-benar merasa tak
bisa mengerjakan dengan maksimal. Kenapa soalnya begitu berbeda dengan yang aku
pelajari, fikirku mungkin karena dosen yang mengajar mata kuliah itu sempat
berganti dosen di tengah semester. Dari beberapa soal yang ada di lembar soal,
aku tak bisa mengerjakan semua. Aku berfikir mungkin aku akan mendapatkan nilai
yang jelek pada ujian kali ini. Sempat berfikir tergoda untuk meminta bantuan
kepada teman yang berada di dekatku, seolah setan berbisik mengatakan bahwa
jika aku tak menyontek nilaiku akan buruk sekali. Aku sempat ragu dengan
prinsipku, aku melihat lembar jawaban yang ada di depanku masih banyak yang
kosong. Waktu terus berjalan, akhirnya aku putuskan untuk tetap tak meminta
bantuan pada teman-temanku. Lebih baik aku tak menjawabnya, daripada lembar
milikku terisi oleh jawaban orang lain. Akhirnya lembar jawaban milikku hanya
terisi beberapa jawaban, tak bisa semua aku isi. Aku hanya pasrah, yang penting
aku berusaha jujur.
Yudisium,
masa dimana mahasiswa akan melihat hasil ujian yang telah dilaluinya. Yudisium
seperti halnya pembagian rapot kala SMA. Perbedaannya, saat SMA dulu
nilaiku diberikan berupa cetakan dalam sebuah kertas. Namun di kampusku ini
diberitahukan secara online. Lagi-lagi di kampusku, semua dilakukan dan
dilihat di sistem yang bernama sikadu itu. semua serba online, harus
diakses melalui internet. Aku pun membuka akun milikku yang ada di sikadu,
setelah log in terdapat beberapa menu yang bisa mahasiswa pilih. Mataku
tertuju sebuah tulisan yaitu yudisium, segera aku klik menu itu. Segera lah
muncul nilai-nilaiku pada semester itu. Aku sempat tersenyum melihat
nilai-nilaiku di bagian atas, terlihat nilai A, nilai AB, nilai B. Aku pun tak
sabar untuk melihatnya satu-satu, aku langsung menarik cursor ke arah
paling bawah. Sebuah bagian yang tertera rekap hasil nilai pada semester itu.
Sontak senyumku berubah menjadi rasa sedih yang mendalam, tak terkira hasil
pada semester satu itu sangat buruk bagiku. Jauh sekali dari target yang aku
harapkan. Tertulis jelas bahwa indeks prestasiku kala itu adalah 3,02. Nilai
yang begitu amat buruk fikirku, berbeda dengan teman-temanku yang kala itu
membukanya lebih dulu. Banyak mereka yang indeks prestasinya lebih dari 3,5. Oh
aku begitu kaget dan terpuruk. Aku coba amati nilai-nilaiku. Bagian atas
kulihat baik-baik, namun mataku terkaget dengan sebuah nilai yang tertera pada
mata kuliah pengantar akuntansi. Tertulis nilai CD, dengan nilai asli 55. Oh
mungkin inilah yang membuat nilaiku terpuruk, karena memang mata kuliah
pengantar akuntansi memiliki bobot 3 sks. Tak terkira aku gagal pada mata
kuliah itu.
Rasa
sedih pun kian bertambah ketika melihat teman-temanku mempunyai indeks prestasi
yang lebih baik di atasku. Apalagi saat mengetahui beberapa teman yang aku
ketahui di menyontek saat ujian tapi indeks prestasinya lebih baik dariku. Hal
itu sungguh membuat hati ini bersedih. Namun ada perasaan senang saat
mengetahui ada temanku yang sangat jujur kala ujian dan hasilnya sangat baik
pula. Aku juga tak mengerti mengapa orang-orang yang suka menyontek itu bangga
dengan indeks prestasinya. Padahal itu bukan musrni hasil kerjaannya sendiri.
Bahkan sungguh membuat diri ini sebal ketika mereka itu memperbincangkan indeks
prestasi mereka di depanku. Apa mereka tak merasa malu pada orang lain.
Membiacarakan bahkan meributkan indeks prestasi mereka padahal itu bukan
diperoleh dari cara yang jujur. Memang setelah aku pahami diantara orang yang
paling senang saat yudisium itu adalah seorang yang jujur yang indeks
prestasinya diatas para penyontek. Namun yang merasa sedih adalah mahasiswa
yang mengalami nasib sebaliknya, mereka yang jujur tapi indeks prestasinya
dibawah para penyontek. Sedangkan mahasiswa yang tak tahu malu adalah mereka
para penyontek yang masih saja meributkan indeks prestasinya.
-----------@----------
INDEKS
PRESTASI 3,02 membuatku cukup prihatin dan takut,
nilai sekecil itu mendekati batas minimal yang harus aku dapatkan sebagai
seorang mahasiwa bidikmisi sebesar 3,0. Kekhawatiran itu pun berlanjut
kala diinformasikan bahwa akan diadakan acara khusus untuk para mahasiswa
bidikmisi di Unnes. Acara monitoring and evaluation, sebuah acara untuk
mengevaluasi prestasi akademik mahasiswa bidikmisi. Aku pun datang, apapun yang
terjadi aku tak mungkin tidak datang. Acara itu diselenggarakan di gedung
rektorat Unnes, seperti biasanya terlihat rekan-rekanku sesama bidikmisi yang
datang berbondong-bondong. Tak biasanya acara kali ini diselenggarakan di
gedung rektorat, mungkin auditorium Unnes sedang dipakai untuk satu acara lain
yang lebih penting.
Acara
dimulai, sambutan demi sambutan diberikan. Tiba lah giliran Pak Alamsyah,
beliau adalah seorang dosen yang diberikan tugas oleh Unnes sebagai pendamping
mahasiswa bidikmisi. Tak disangka dalam sambutannya, beliau menampilkan sebuah
tabel di layar proyektor yang sudah terpasang lebar di depan kami para
mahasiswa bidikmisi. Tabel itu adalah tabel yang menuliskan secara jelas indeks
prestasi mahasiswa bidikmisi semuanya. Tak terkecuali namaku yang tertera jelas
disitu dengan indeks prsetasi hanya 3,02. Terlihat dalam tabel itu telah
diurutkan dari indeks prestasi tertinggi hingga yang paling rendah. Angka-angka
dan nama-nama dalam indeks prestasi itu diberikan dua kategori warna, warna
merah dan warna hijau. Warna hijau dimulai dari indeks prestasi 3,0 hingga yang
lebih tinggi darinya. Sedangkan indeks prestasi di bawah 3,0 diberi warna
merah. Tentu saja namaku tertera tepat di sekitar bagian atas warna merah,
walau aku masih di kategori warna hijau. Warna merah menandakan bahwa mahasiswa
bidikmisi tersebut dalam zona tak aman, tak aman posisinya sebagai penerima
bidikmisi. Warna hijau menandakan bahwa mahasiswa bidikmisi tersebut masih
dalam zona aman untuk mempertahankan bidikmisinya. Aku pun tak menyangka
ternyata banyak juga mahasiswa bidikmisi yang IP-nya dibawahku. Ada puluhan
mahasiswa bidikmisi yang dalam zona merah. Pasti mereka lebih cemas dan gelisah
daripada aku.
Teman-temanku
terlihat begitu memperhatikan tabel itu, ada wajah ceria yang terlihat karena
melihat indeks prestasinya yang bagus. Ada pula yang sangat gelisah karena
indeks prestasinya berada di zona merah. Di tengah acara yang sedang
berlangsung, tiba-tiba datanglah Bapak Masrukhi. Beliau adalah Pembantu Rektor
Bidang Kemahasiswaan Unnes, seketika kami pun menyambutnya mengikuti kode dari
Pak Alamsyah. Pak Masrukhi, banyak temanku bidikmisi yang menyebutnya sebagai
bapaknya bidikmisi di Unnes. Setelah kedatangan beliau, Pak Alamsyah
mempersilahkan Pak Masrukhi untuk memberikan nasehat kepada kami. Terlihat
begitu wibawanya Pak Masrukhi menurutku, Pak Alamsyah terlihat begitu sangat
menghormati beliau. Saat pertama kali melihat beliau, aku kira beliau adalah
rektor Unnes.
Pak
Masrukhi mulai berdiri di depan kami semua, beliau memulainya dengan semangat
meneriakkan jargon Unnes. Aku kira beliau hanya akan memberi nasehat pada kami,
tetapi aku salah. Kedua mata beliau tertuju juga pada sebuah tabel yang tertera
di layar proyektor, beliau tersenyum karena melihat banyak mahasiswa yang
Indeks prestasinya tinggi. Salah satunya adalah Raeni, temanku mahasiswa
bidikmisi fakultas ekonomi dari progam studi Pendidikan Akuntansi yang mampu
meraih indeks prestasi 4,0. Beliau pun memberikan selamat dan mengapresiasi
Raeni atas keberhasilannya, begitu juga kepada para mahasiswa bidikmisi
yang memperoleh indeks prestasi yang tinggi kala itu.
Waktu
terus berjalan, Pak masrukhi kini justru meminta panitia untuk mengarahkan
tabel indeks prestasi itu ke arah paling bawah. Deg, sebuah degup jantung pasti
terasa bagi mahasiswa yang namanya tertera di bagian paling bawah. Nama-nama
dengan warna merah itu pun diperlihatkan dengan begitu jelas untuk waktu yang
sangat lama. Rasa malu karena berada paling bawah pasti begitu mendera mereka.
Mungkin mereka sangat tak ingin wajah mereka dilihat oleh teman mereka di
sekelilingnya. Rasa malu itu pun mungkin juga bercampur dengan rasa takut akan
sangsi jika akan di marahi bahkan diberhentikan bidikmisinya.
Ketegangan
pun masih berlanjut, Pak Masrukhi kemudian memanggil nama-nama yang ada di
bagian paling bawah itu. Nama-nama para mahasiswa bidikmisinya yang indeks
prestasinya paling rendah. Satu dua nama di panggil, kami saling menoleh ke
berbagai penjuru. Siapa gerangan mahasiwa yang dipanggil oleh beliau. Setelah
beberapa kali dipanggil akhirnya satu per satu nama-nama yang beliau panggil
itu pun maju ke depan. Rasa malu dan takut tak bisa mereka sembunyikan di balik
raut wajah mereka, hanya sesekali tersenyum terpaksa di balik wajah meraka yang
sering menunduk. Sungguh pastinya, aku tidak bisa membayangkan jika aku yang
berdiri di depan ratusan mahasiswa bidikmisi saat itu, pasti sungguh malu tak
terkira. Aku masih bersyukur bisa mendapat indeks prestasi lebih dari 3,0. Ini
merupakan pembelajaran besar bagiku, aku tak boleh mendapatkan indeks prestasi
seperti ini lagi. Apa lagi sampai mendapatkan indeks prestasi di bawah 3,0.
Para
mahasiswa bidikmsi yang ada di depan itu pun satu persatu ditanyai oleh Pak
Masrukhi.
“Kamu
kenapa indeks prestasinya sekecil itu?”
“Maaf
pak, kemarin saya sakit cukup lama. Jadi tidak maksimal dalam kuliah saya”
jawab salah satu mahasiswa.
“Lha
kalau kamu? dan kamu?” Pak masrukhi bertanya pada beberapa mahasiswa yang ada
di depan itu.
Jawaban
dari beberapa mahasiswa terdengar ada yang memang bisa di terima, ada pula yang
tidak bisa diterima. Mendengar jawaban-jawaban itu Pak masrukhi ternyata tidak
memarahi mereka, Pak Masrukhi justru tetap menasehati mereka dan juga
menasehati kami. Mungkin itu lah cara terbaik untuk mendidik seseorang untuk
memperbaiki diri. Bukan dengan cara memarahi atau selalu membentak, tetapi
dengan cara menyemangati agar kesalahan yang sama tidak diulangi untuk kedua
kalinya.
Acara
itu pun berakhir dengan semangat dan banyak nasehat dari Pak Masrukhi. Acara
itu tentu menjadi pembelajaran besar bagiku dan para mahasiswa bidikmisi
lainnya. Kami harus bisa melaksanakan ketentuan yang telah Unnes tetapkan. Kami
harus mampu meraih indeks prestasi di atas 3,0, kalau tidak maka kami
harus merelakan status bidikmisi kami untuk dievaluasi lebih lanjut. Apakah masih
layak dipertahankan atau sudah waktunya untuk diberhentikan.
-------@-------
TARGET
IP SEMESTER DUA, aku menargetkan mampu memperoleh
indeksi prsetasi di atas 3,5. Ya itu lah target yang ingin aku peroleh di
semester depan. Tak ingin aku mengulangi lagi mendapatkan IP hanya
sebesar 3,02. Aku mulai mengevaluasi diriku sendiri, apa yang menyebabkan aku
hanya mampu mendapat Ip sekecil itu.
Baca Juga : Keuntungan-Keuntungan Yang Bisa Didapatkan Ketika Menjadi Mahasiswa Bidikmisi
Baca Juga : Keuntungan-Keuntungan Yang Bisa Didapatkan Ketika Menjadi Mahasiswa Bidikmisi
Aku mulai menyadari, bahwa semangat
belajarku saat kuliah tak seperti di kala SMA. Aku belum seserius dulu, padahal
saat ini mata kuliah yang harus aku tempuh sungguh berbeda dengan apa yang aku
pelajari kala SMA. Ah apa itu yang menyebabkan IP yang kuperoleh rendah, karena
memang mata kuliahnya adalah ilmu-ilmu baru yang aku temui. Aku sempat
beralasan pada diri sendiri bahwa ini bukan lah salahku, memang aku tak boleh
menyalahkan diriku karena aku memang baru mengahadapi mata kuliah tentang
pendidikan adminsitrasi perkantoran. Ah mungkin ini juga lingkungan kos yang
tidak mendukung, kosku tak terlalu cocok untuk bisa belajar dengan baik, aku
menyalahkan kosku.
Sejenak
kembali ke fikiranku yang jernih, jika bukan salahku maka salah siapa hingga
hasilnya seperti ini. Tak mungkin justru menyalahkan mata kuliahnya,
menyalahkan lingkungan atau justru menyalahkan orang lain. Aku mulai sadar
bahwa semua berasal dari diri sendiri. Faktor dari dalam diri itu lah yang
utama, faktor dari luar tak terlalu banyak yang memperngaruhiku. Ah ini memang
salahku, aku memang yang kurang semangat dalam belajar hingga nilai-nilaiku tak
begitu bagus. Rasa bersalah itu semakin terasa, selama ini dari dulu sejak SD
hingga SMA aku merasa selalu bisa meraih prestasi di antara teman-temanku. Saat
ini, aku tak mampu sedikitkpun berbangga karena hasil yudisiumku. IP 3,02
adalah nilai yang begitu kecil.
Aku
mulai menata lagi semangatku dalam belajar, target semester dua ini IP harus
mampu di atas 3,5. Target untuk bisa mendapatkan IP cumlaude, mungkin
jika bisa cumlaude aku bisa mengulang mata kuliah pengantar akuntasi
yang mendapat nilai CD itu. Di kampusku tepatnya di prodiku, setiap mahasiswa
diberikan beban jatah mata kuliah yang harus diselesaikan di setiap sesmester
rata-rata adalah 22 sks mata kuliah. Untuk dapat mengambil jatah 22 sks itu
maka setiap mahasiswa harus mempunyai IP di atas 3,0 di semester sebelumnya.
Untuk bisa mengambil jatah di atas 22 sks, maka seorang mahasiswa harus mampu
memperoleh IP diatas 3,5. Saat itulah baru bisa dan boleh mangambil 24 sks.
Dengan sistem seperti tersebut tak heran setiap mahasiswa punya waktu lulus
yang berbeda-beda. Semakin kecil IP yang diperoleh maka semakin sedikit pula
mata kuliah yang bisa diambil mahasiswa, hingga akan menyebabkan mahasiswa
tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan semua mata kuliah yang
memang di wajibkan. Hal itu yang menyebabkan ada mahasiswa yang lulusnya lama
hingga belasan semester. Sebaliknya mahasiswa yang mampu memperoleh IP yang
tinggi, maka semakin banyak pula mata kuliah yang bisa dia ambil. Hal itu
menyebabkan mahasiswa itu mampu menyelsaikan kuliahnya lebih cepat dari yang
lainnya.
Memperoleh
IP 3,5 dan mendapat jatah 24 sks, Inilah kesempatanku untuk bisa mengulang mata
kuliah pengantar akuntansiku dulu. Aku harus mampu mengambil jatah 24 sks di
semester tiga, semester dua ini harus mendapat IP diatas 3,5. Hari-hari
kuliahku berikutnya lebih aku ikuti dengan serius dan semangat. Aku harus
mengejar nilai setinggi-tingginya. Waktu pun bergulir begitu cepat hingga tiba
lah saat ujian akhir semester dua. Aku belajar dengan begitu serius, semester
ini aku akan perbaiki IP-ku.
Ujian
akhir semester dua berjalan dengan lancar, semua terselesaikan dengan baik. Aku
sangat berharap kesalahan di semester satu tidak akan terulang lagi. Cukup lah
satu kali aku mendapat IP 3,02. Walau sebenarnya IP tersebut di kalangan
mahasiswa biasa adalah suatu yang cukup, tidak buruk dan juga tidak istimewa.
Merupakan IP yang dianggap wajar, mungkin dikatakan rata-rata. Tetapi aku sadar
akan posisiku, aku adalah seorang mahasiswa bidikmisi. IP 3,02 itu adalah IP yang
sangat kecil. Mahasiswa bidikmisi harus mampu memperoleh IP yang lebih dari
itu.
Yudisium
semester dua pun tiba, kembali aku melihatnya via online. Aku lihat
nilaiku satu persatu, banyak yang mendapat nilai A. Aku senang sekali, hasil
belajar dan semangatku tak sia-sia. Aku pun segera lihat nilai total yang aku
dapatkan, tak aku duga dan benar-benar membuatku bersedih kembali. Tepat
tertulis di keterangan indeks prestasi tertulis kurang dari targetku untuk bisa
diatas 3,5. Ternyata saat itu tertulis dengan jelas angka 3,50 saja. Ah kenapa
tidak bisa diatas 3,50 tetapi tepat di angka 3,50 saja. Dengan IP 3,50 itu sama
saja aku tidak bisa mengambil jatah 24 sks, karena batas minimal untuk dapat
mengambil 24 sks adalah 3,51. Selisih IP yang aku peroleh kala itu dengan batas
minimalnya adalah hanya lah 0,01. Oh begitu tipis sekali, aku cukup bersedih
juga karena belum mampu melalui target yang aku tentukan. Aku melihat
nilai-nilaiku ternyata ada beberapa yang memang tepat diantara batas nilai.
Beberapa mata kuliah mendapat nilai 85, jika 86 maka kategori nilainya
sudah berubah lagi. Oh bapak ibu dosenku, kenapa tak memberikan nilai 86
sekalian buatku. Fikiranku melayang-layang. Angka 85 terlalu banyak menggantung
harapan buatku. Mungkin memang itulah batas kemampuanku, aku tak boleh
menyalahkan dosen-dosenku.
Kala
yudisium tiba, di fakultas ekonomi tempatku berada. Setelah yudisium itu akan
selalu diadakan perwalian terpadu dengan dosen wali. Sebuah acara seperti
evaluasi dan pemberian nasehat antar anak dan orang tua. Hal ini dilakukan
sebagai bentuk pendampingan terhadap mahasiswa. Aku pun datang kala itu. Dosen
waliku adalah perempuan, beliau bernama ibu Nina Oktarina. Sosok yang begitu
ramah dan sangat peduli kepada mahasiswa-mahasiswanya. Beliau juga merupakan
dosen yang sering aku temui dalam mengajar beberapa mata kuliah yang aku
tempuh. Perwalian itu diadakan serentak di fakultasku. Bu Nina biasa aku
menyapanya, beliau memberikan berbagai informasi dan nasehat kepapa kami, tak
terkecuali kepadaku.
“Agus,
dipertahankan ya prestasinya. Teman-temanmu semester ini banyak yang indeks
prestasinya turun drastis. Namun kamu justru naik sangat tinggi”
Bu Nina menyemangatiku, aku pun
dengan senang hati mendengarkan nasehat-nasehat beliau, karena beliaulah juga
merupakan sosok orang tuaku di fakultas ekonomi ini. Aku pun mengetahui di saat
kegiatan perwalian itu, bahwa sebagian besar teman-temanku indeks prestasinya
menurun. Memang seperti itu lah rumor yang aku dengar dari kakak tingkat,
semester satu banyak mahasiswa yang IPnya tinggi-tinggi namun kala semester dua
justru akan banyak yang anjlok. Hal itu memang terbukti kala itu, terjadi
sendiri di antara teman-teman sekelasku dan juga kelas yang lain. Hal itu namun
tak terjadi padaku, aku justru mampu menaikkan IP yang aku miliki di kala
teman-temanku justru turun. Walau aku tidak mampu melampaui target yang aku
tentukan, namun aku senang bisa memperbaiki IP yang kuperoleh. Aku pun juga
senang, ternyata semangat belajarku mampu membuatku berbeda dengan teman-temanku
dalam semester dua ini.
Semester-semester berikutnya tak ada lagi IP setara 3,02. IP yang ku peroleh di
semester berikutnya tetap stabil tak jauh diantara 3,5. Naik turun pun aku
alami sebagai seorang mahasiswa biasa, tapi tak pernah lagi aku mengalami IP
3,02 lagi. Beberapa kali juga pernah merasakan IP cumlaude, akhirnya
bisa di atas 3,5. Hal itu karena memang sudah ada tekad dan semangat untuk tak
mengulangi kesalahan yang sama. Ini diantara cara saya mendapatkan IP lebih
dari 3,0 silahkan dibaca di link ini Cara Mendapatkan Indeks Prestasi (IP)
Lebih Dari 3,0. Mulai di semester tiga dan selanjutnya nilai
dalam IP justru tak begitu aku prioritaskan setinggi-tingginya, yang penting
aku belajar sebaik mungkin. Tak tergambarkan lagi aku harus punya mimpi
mendapat IP 4,0 seperti saat awal-awal kuliah. Hanya standar yang aku tetapkan
setidaknya mampu cumlaude saja. hal itu karena sejak semester tiga aku
mulai suka dengan yang namanya berorganisasi di kampus. Hingga akhirnya
sampai di semester delapan aku bertahan di indeks prestasi 3,48. Sempat
terfikir lucu olehku, ntah kebetulan atau memang ini adalah rencana unik dari
Allah. Semester satu indeks prestasiku adalah 3,02 dan di semester dua adalah
3,50. Dua angka dibelakang koma itu selisihnya adalah 0,48, dan ternyata dua
angka itu adalah menjadi dua angka di indeks prestasi komulatifku saat diwisuda
yaitu 3,48. Hal itu benar-benar luar biasa bagiku. Aku pun senang dengan IP
yang aku peroleh itu, berapapun itu adalah hasil dari semangat dan kerja
kerasku. Maka tak lain aku harus mensyukurinya, supaya akan menjadi transkip
nilai yang bermanfaat.
#UNTAIAN
HIKMAH
Pertama, untuk dapat beradaptasi dengan
sesuatu yang baru kita perlu mempelajarinya lebih dalam. Tidak menyamakan
sesuatu yang memang dasarnya berbeda, karena hasilnya pasti berbeda. Beda
kuliah beda dengan kala SMA, kita harus melakukan penyesuaian. Kuliah tak
seperti kala SMA, semua tersaji enak dihidangkan oleh para guru. Kuliah
membutuhkan mahasiswa untuk menghidangkan ilmu pengetahuan yang harus ia
kuasai. Apalagi jika terjun dalam kuliah dengan dasar jurusan yang
berbeda kala SMA. Kala kuliah sang dosen hanya memberi resep dasarnya,
mahasiswa yang akan meraciknya menjadi sebuah menu pengetahuan yang siap
dicerna dengan enak dan mudah. Perlu semangat lebih, perlu kemandirian lebih,
perlu kreatifitas lebih. Semuanya demi beradatasi dengan dunia perkuliahan
dengan baik, hingga akhirnya mampu meraih prestasi yang baik pula.
Kedua, jadi orang harus mempunyai standar prestasi tersendiri.
Bukan selalu mengikuti standar rata-rata yang dikatakan banyak orang. Jika
demikian, maka tak lain kita akan memperoleh prestasi rata-rata. Seorang
penerima beasiswa, harus mempunyai standar lebih dari mahasiswa biasa. Sadar
diri kita telah diberikan berbagai hak istimewa dan berbagai dukungan
pembiayaan kuliah sebagai seorang penerima beasiswa dibandingkan mahasiswa
biasa. Maka tentu kita harus mampu berada di atas mahasiswa biasa. Bukanlah
sebuah tuntutan menjadi yang lebih baik, tetapi memang kewajiban bagi kita
untuk berusaha lebih baik dari yang lain. Tak hanya melihat apa yang telah
kampus berikan kepada kita, tapi mungkin kita harus berfikir apa yang dapat
kita berikan pada kampus kita.
Ketiga, hasil yang buruk dari suatu pekerjaan sering kali berawal
dari ketidakseriusan kita dalam mengerjakannnya. IP 3,02 itu adalah hasil yang
buruk menurutku, karena memang aku sadari aku tidak begitu fokus kala itu.
Sering kali kita terlalu menganggap mudah sesuatu pekerjaan, bahkan
menyepelekannya walau memang sebenarnya pekerjaan itu awalnya adalah kategori
pekerjaan yang mudah. Ketidakseriusan tersebut justru menjadikan hal yang mudah
itu menjadi tak terselesaikan. Sering kali seorang yang mempunyai mata yang
normal justru terjatuh karena tidak fokus dalam berjalan, dan justru banyak
orang yang tuna netra yang jarang terjatuh karena dia begitu fokus dalam
berjalan.
Keempat, sebuah hasil yang kita peroleh tak akan berada sangat jauh
dari target yang kita tentukan. Aku targetkan IP diatas 3,5, hasilku pun
ternyata tak jauh dari itu. Walau aku hanya mampu memperoleh IP 3,5. Hal itu
sangat tipis dengan targetku. Sering kali kita tak mentargetkan sesuatu, jadi
hasilnya pun tak karuan. Hal seperti itu pun terjadi saat aku semester satu.
Namun kala kita mempunyai target, kita tentu akan berusaha mewujudkannya. Itu
lah kekuatan sebuah target, layaknya seperti pemanah yang mengarahkan busur
panahnya ke sebuah titik sasaran. Hasilnya pun tentu panahnya akan menancap di
sekitar titik itu, walau sering kali tidak tepat mengenai titik sasaran yang
diinginkan. Mungkin juga seperti seseorang yang berusaha mampu menaiki seratus
tangga, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa menaiki ke seratus tangga.
Walau dia lelah dan letih, tapi karena ada sesuatu hal di tangga seratus itu
yang sangat dia inginkan. Pastilah dia akan tetap naik dan naik. Akhirnya
seseorang itu pun dapat menaiki serratus tangga itu, namun tak banyak orang
seperti dia yang punya target yang sama, yang bisa menyelesaikan seratus tangga
itu. Banyak yang tak mampu pula, namun akan sulit dipungkiri bahwa
seseorang yang berusaha naik seratus tangga itu tentu akan mampu berada hingga
di dekat tangga ke seratus, ntah tangga ke delapan puluh atau ke sembilan
puluh. Itu lah sebuah target, walau kadang tak bisa meraihnya namun jika kita
mau berusaha maka hasilnya kita akan berada mendekati target itu. Syukur-syukur
akan bisa melampaui target itu.
Kelima, tidak ada kata gagal bagi orang yang telah berusaha. Orang
yang gagal adalah orang yang tak mau berusaha. Apapun hasil dari usaha
seseorang maka itu lah tingkat keberhasilannya. Sering kali kita berfikir,
bahwa kita gagal ketika tidak bisa memperoleh hasil yang kita harapkan. Kita
justru mengatakan bahwa kita telah gagal. Aku rasa itu adalah suatu yang salah,
karena kita harusnya menyadari bahwa setiap hasil dari usaha kita itulah memang
tingkat keberhasilan dari kemampuan kita. Kita tahu bahwa setiap manusia
diberikan batas kemampuan yang berbeda dari Allah, kita pun tak bisa memaksakan
kemampuan kita untuk memperoleh hasil paling baik diantara yang lain. Kita juga
tak pernah tahu akan hasil yang mana yang justru memberi manfaat pada kita.
Belum tentu apa yang kita katakan sebagai hasil yang maksimal itu adalah hasil
yang terbaik bermanfaat bagi kita. Saat kita mampu menghargai apapun hasil yang
kita peroleh, saat itu pula kita telah bersyukur pada Allah atas segala
ketentuan-Nya. Namun bukan berarti kita akan berhenti dengan rasa syukur kita,
tanpa berusaha menjadi lebih baik lagi. Rasa syukur itu harusnya mampu
memotivasi kita untuk tetap berusaha meraih keberhasilan yang lebih baik lagi.